Minggu, 19 Oktober 2008

CANDI BUMIAYU, MUARAENIM

Situs Bumiayu memiliki 10 buah gundukan tanah yang diduga berisi struktur bangunan kuno yang merupakan kompleks percandian agama Hindu. Namun, tidak semua bangunan yang ada merupakan bangunan suci (candi) yang bersifat sakral, tetapi ada pula bangunan yang bersifat profan.
Sejarah berdirinya Kompleks Percandian Bumiayu sampai saat ini belum dapat diketahui karena belum ditemukannya data-data sejarah maupun arkeologi yang dapat mendukungnya. Untuk sementara penentuan kronologi Situs Bumiayu secara relatif menggunakan analisis temuan yang berhasil dikumpulkan, antara lain bata bertulis, inskripsi pada lempengan emas, arca, keramik, dan gaya arsitektur bangunan candi.
Berdasarkan tinjauan paleografi terhadap tulisan yang terdapat pada bata bertulis, diketahui bahwa terdapat 18 jenis huruf yang sangat mirip dengan tulisan Jawa Kuna dari abad X-XI M. Tulisan tersebut berisi doa-doa dalam agama Hindu. Sementara inskripsi yang terdapat pada lempengen emas yang ditemukan di Sungai Lematang pada tahun 1991 ditafsirkan oleh Soekarto K. Atmodjo menggunakan huruf Pallawa dari abad IX-XII M yang menyebutkan nama Dewi Parwati dan sejumlah nama dewa lainnya.
Temuan arca perwujudan yang menggambarkan tiga tokoh yang saling menggendong, yaitu seekor gajah, orang kerdil (makhluk Ghana), dan seekor singa berdiri diduga merupakan candrasangkala (angka tahun) 818 S atau 896 M. Jika dilihat dari gaya ikonografi, gaya seni, dan keindahan pembuatannya, maka sebagian besar arca dari Situs Bumiayu mempunyai kemiripan dengan arca-arca dari Candi Gurah (Jawa Timur) yang berasal dari abad X dan XI M. Sementara itu, temuan sejumlah keramik Cina yang berasal dari situs tersebut umumnya berasal dari abad XII M.
Gaya arsitektur yang terdapat pada bangunan Candi Bumiayu juga mencerminkan masa pembuatannya. Jika diamati dengan seksama, Candi I Bumiayu diduga mempunyai 2 masa pembangunan. Pembangunan tahap pertama ditandai dengan bentuk denah bujur sangkar dan mempunyai unsur-unsur perbingkaian yang berupa sisi genta, setengah lingkaran, dan rata. Ciri-ciri tersebut menempatkan anggapan bahwa Candi I tahap pertama didirikan pada abad XIII M. Sementara itu, pembangunan tahap kedua ditandai dengan adanya penampil di setiap sisi bangunan dan pilaster-pilaster di setiap sudut bangunan.
Dengan demikian, berdasarkan hasil analisis yang dilakukan terhadap sejumlah temuan dari Situs Bumiayu, dapat disimpulkan bahwa situs tersebut merupakan kompleks percandian yang bernafaskan agama Hindu yang diduga berasal dari abad VIII-XII M.

2.3 Riwayat Penelitian dan Pemugaran
Keberadaan Situs Bumiayu pertama kali dilaporkan oleh E.P. Tombrink pada tahun 1864 dalam Hindoe Monumenten in de Bovenlanden van Palembang. Ia menyebutkan bahwa di daerah Lematang Ulu terdapat peninggalan-peninggalan Hindu yang berupa 26 buah arca dari trasit berbentuk nandi, sedangkan di daerah Lematang Ilir ditemukan runtuhan candi di dekat Dusun Tanah Abang dan sebuah relief burung kakaktua yang sekarang disimpan di Museum Nasional (Tombrink, 1870: 1-45; Satari, 2000:2).
Kemudian pada tahun 1904 seorang kontrolir Belanda bernama A.J. Knaap melaporkan bahwa di wilayah Lematang ditemukan sebuah reruntuhan bangunan bata setinggi 1,75 m. Menurut informasi yang diperoleh, bangunan tersebut merupakan bekas Keraton Kedebong Undang yang luas kerajaannya sampai ke Babat dan Mondong. Pada tahun yang sama J.L.A. Brandes juga melakukan penelitian terhadap Situs Bumiayu, tetapi hasilnya tidak dapat diketahui.
Di dalam majalah Oudheidkundig Verslag, FDK Bosch (1930: 151-152) menyebutkan bahwa di Tanah Abang ditemukan sudut bangunan dengan hiasan makhluk ghana dari terakota, sebuah kemuncak bangunan berbentuk seperti lingga, antefiks, dan sebuah arca tanpa kepala.
Penelitian berikutnya dilakukan oleh F.M. Schnitger pada tahun 1936. Ia menemukan 3 buah runtuhan bangunan bata, pecahan arca Siwa, 2 buah kepala Kala, pecahan arca singa, dan sejumlah bata berhias burung. Artefak-artefak yang dibawa Schnitger itu sekarang disimpan di Museum Badaruddin II, Palembang (Utomo, 1993: 4).
Bangsa Indonesia sendiri baru melakukan penelitian sejak tahun 1973 oleh Puslitarkenas yang bekerja sama dengan Universitas Pennsylvania. Penelitian tersebut berhasil menemukan 3 buah runtuhan bangunan bata. Kemudian dilanjutkan dengan melakukan sebuah survei pada tahun 1976 yang juga berhasil menemukan 3 buah runtuhan bangunan bata (Surjanto, dkk., 1984: 31).
Penelitian secara intensif dilakukan pada tahun 1990 yang bekerja sama dengan Ecole Francaise d’Extreme Orient (EFEO). Kemudian pada tahun 1991 dilakukan pemetaan secara menyeluruh beserta penelitian biologi dan geologi terhadap Kompleks Percandian Bumiayu. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Situs Bumiayu dikelilingi oleh parit yang mengalir ke Sungai Lematang. Sementara berdasarkan pengamatan geologi diduga lokasi kompleks percandian yang terletak di meander Sungai Lematang ini dalam jangka waktu 20 tahun mendatang dikhawatirkan akan hilang karena tergerus oleh arus sungai.

Tidak ada komentar: