Minggu, 19 Oktober 2008

BATANGHARI DALAM ARUS SEJARAH

Sungai Batanghari merupakan sungai terpanjang di Pulau Sumatera, panjangnya kurang lebih 800 km, lebar 500 meter dan kedalaman antara 5- 30 meter. Penyebutan Batang oleh masyarakat masa lalu sesungguhnya berarti sungai, namun kemudian oleh orang di luar Jambi sering disebut berulang sehingga membentuk nama Sungai Batanghari.
Batanghari memiliki banyak anak sungai, antara lain Batang Tebo, Batang Tembesi, Batang Merangin, Batang Bungo, Batang Tabir, Batang Merao, Batang Sangir, Batang Kumpeh, Batang Senamat, Batang Pelepat, Batang Jujuhan, Batang Uleh, Batang Asai, Batang Kibul, Batang Pengabuan, Tabirlimun, Sungai Nilau, Sungai Lokan, Sungai Maram, Sungai Kenali, Sungai Kambang dan lain sebagainya.
Sungai Batanghari memiliki sejarah peradaban yang panjang. Ditemukan banyak bukti kegiatan manusia di situs-situs arkeologis di sepanjang Batanghari mulai dari hulu hingga ke daerah hilir. Temuan situs arkeologi di sepanjang Batanghari menunjukan adanya beberapa pemusatan pemukiman kuno di tepian sungai. Dimasa lalu sungai merupakan sarana transportasi yang penting dari daerah hilir ke daerah hulu dan sebaliknya. Pengangkutan melewati darat dahulu masih sangat susah dan tidak efektif, mengingat masih lebatnya hutan dan kontur tanah yang berbukit atau rawa. Angkutan air jauh lebih efisien, apalagi di daerah Jambi banyak sekali terdapat sungai. Di jalur transportasi inilah biasanya kita dapat menjumpai adanya kelompok-kelompok pemukiman kuno. Besar kecilnya kelompok pemukiman tersebut sangat tergantung pada strategis atau tidaknya lokasi tersebut. Perkembangan sebuah pemukiman atau bahkan sebuah kerajaan antara lain juga bergantung pada keletakan kerajaan tersebut. Keletakan kerajaan atau pemukiman yang berada di daerah pedalaman biasanya lebih kecil dari kerajaan yang terletak lebih ke hilir. Hal ini mengingat bahwa sungai makin ke hulu semakin mengecil, sedangkan di daerah hilir lebih besar. Besar kecilnya keadaan sungai ini mengakibatkan jenis angkutan air berupa perahu dapat diperkirakan juga semakin mengecil jika masuk ke pedalaman. Besar kecilnya perahu menentukan besar kecilnya muatan baik orang maupun komoditi yang diangkut. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa daerah di hilir akan jauh lebih ramai dibandingkan daerah hulu, sehingga dengan kata lain daerah hilir akan lebih besar pemukimannya dibandingkan daerah hulu.
Jika kita memperhatikan peta Propinsi Jambi, dapat kita lihat bahwa pemukiman atau perkampungan lama terletak di sepanjang tepian Batanghari. Sehingga jalan darat yang dibuat pada masa kemudian nyaris sejajar mengikuti alur dari Sungai Batanghari ini. Jika kondisinya jalan itu melenceng jauh dari pemukiman selanjutnya maka dibuatkan jembatan untuk menuju pemukiman yang lebih ramai diseberangnya. Jika kita memperhatikan peta, maka kita ketahui pula bahwa air sungai Batanghari yang sampai di Kota Jambi ini merupakan gabungan air dari anak-anak Sungai Batanghari. Sungai Batanghari sendiri yang besar mempunyai hulu utama di wilayah Sumatera Barat, sedangkan anak-anak sungai yang berukuran cukup besar yang mengisi air ke sungai Batanghari adalah dari Batang Tembesi yang berhulu di daerah Sarolangun dan Merangin hingga Kerinci, Batang Tabir yang berhuluan di daerah Sarolangun dan Merangin dan Batang Bungo yang berhuluan di daerah Bungo dan Kerinci. Wajar saja jika suatu waktu Kota Jambi mengalami banjir besar, karena jika anak-anak sungai tadi melimpah airnya akan mengisi keseluruhannya ke Sungai Batanghari yang melewati Kota Jambi. Apalagi ditambah dengan semakin rusaknya hutan-hutan di daerah hulu, yang menyebabkan air tidak sempat tertahan lagi oleh vegetasi yang ada di daerah itu.
Memperhatikan usia dari peradaban manusia di sepanjang Batanghari ini, diduga pemukiman tua berada di daerah hilir, sedangkan pemukiman yang lebih muda berada di bagian hulu. Mengacu pada bukti temuan keramik, prasasti dan arca dapat kita ketahui adalahnya perpindahan pusat kerajaan Melayu Masa Hindu Budha. Pusat kerajaan yang dahulu berada di daerah hilir, sekitar kota Jambi (Temuan Candi Solok Sipin abad ke 8 Masehi). Kerajaan Melayu Kuno di abad ke 13 tampak bergeser ke pedalaman dengan tumbuhnya kerajaan Dharmasraya di hulu Batanghari. Perpindahan ini lebih didasarkan pertimbangan faktor keamanan dan keinginan untuk penguasaan sumber-sumber alam di pedalaman. Walaupun demikian bagian hilir dari Batanghari ini masih memegang peranan penting sebagai pelabuhan dagang yang cukup besar antara lain seperti Koto Kandis dan Muarajambi sebagai pusat peribadatan Budha. Waktu tempuh perjalanan dari hilir hingga ke hulu yang memakan waktu sangat lama dengan teknologi pelayaran sungai masa lalu menyebabkan tumbuhnya pemukiman-pemukiman kecil di daerah perantaranya. Tempat strategis di pertemuan anak sungai besar seperti Batang Merangin tumbuh pemukiman besar seperti daerah Muara Tembesi. Di daerah pertemuan anak sungai Batangbungo dengan Batanghari tumbuh pemukiman besar bernama Muara Tebo. Dengan tumbuhnya pemukiman di sepanjang perjalanan dari hilir ke hulu berkembang pula pendirian tempat ibadah, sehingga kita dapat menjumpai adanya situs-situs percandian seperti Candi Pematang Jering, Candi Danau Bangko, Candi Pematang Saung, Candi Teratai, Candi Tuo Sumai, dan Candi Teluk Kuali. Sedangkan yang masuk wilayah Propinsi Sumatera Barat tetapi masih ditepi Batanghari kita jumpai Candi Padang Roco, Candi Siguntur, Candi Pulau Sawah dan Situs Rambahan yang terkenal dengan arca Amoghapasa.

Tidak ada komentar: